Kamis, 25 Februari 2010

Apa Salahnya Menjadi Band Mainstream?


"Kita kedatangan tamu, seorang vokalis dari sebuah band mainstream, Anji Drive.” Itulah kata-kata pertama yang diucapkan oleh seorang pembawa acara saat melihat sosok saya di sebuah pesta pernikahan salah satu sahabat.

Hampir semua yang ada di tempat itu menoleh dan tertawa. Entah, apa makna di balik tawa itu. Saya hanya tersenyum sambil melanjutkan malam itu bersama sebotol bir, menikmati apa yang Seringai, Komunal, Rumah Sakit, Denial, The Jones dan Teenage Death Star teriakkan dari atas panggung.

Dalam perjalanan pulang, mau tak mau kata-kata pembawa acara yang juga merupakan salah satu editor majalah ini membuat saya berpikir. Saya tahu itu hanya sebuah kelakar penyegar suasana. Tapi tak tertutup kemungkinan adanya muatan sindiran di balik kelakar itu.

Karena untuk beberapa kalangan yang ‘tidak mainstream’, menjadi mainstream adalah hal yang kurang baik, sangat kurang baik atau bahkan hina. Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah band mainstream itu? Apakah salah menjadi seperti itu?

Berdasarkan artinya (yang saya dapatkan melalui Google, karena tidak ada di KBBI), mainstream adalah arus umum dari pemikiran mayoritas. Dalam seni, mainstream mencakup semua budaya populer dan biasanya disebarkan oleh media massa. Saya menggarisbawahi kata-kata budaya populer dan media massa. Jadi, band mainstream adalah sebuah band yang biasanya memainkan musik dengan kaidah yang ada dalam koridor industri pop dan didukung oleh media massa. Band mainstream tidak ada hubungannya dengan keberadaan mereka di major label maupun indie. Pemahaman itu sepertinya harus diluruskan.

Apakah disukai masyarakat luas tidak-lah baik? Apakah tidak memiliki musik ‘aneh dan unik’ serta ‘keras’ tidaklah bagus? Apakah mempunyai notasi dan lirik yang bisa dinyanyikan orang dewasa sampai anak kecil adalah hina?

Memainkan musik memang merupakan salah satu bentuk ekspresi diri, tetapi pada saat memasuki budaya pop (yang salah disebut dengan mainstream), ada tanggung jawab moral yang secara langsung dan tidak langsung terhadap pendengar.

Misalkan saat menulis ‘birahi’, ‘o…nani’ atau ‘celurit’ dalam lirik sebuah lagu. Saya menganggap itu sebagai sesuatu yang cerdas. Menjadi sangat cerdas saat kata-kata itu bisa keluar dan mengalir tanpa bermaksud porno atau brutal. Tetapi apakah itu baik untuk anak-anak? Atau apakah para orang tua yang bertanggung jawab akan perkembangan anaknya bisa setuju akan isi lagu itu?

Seperti Lily Allen, yang harus mengelus dada saat lagunya yang bagus harus diedit karena kata-kata ’fuck’ (maaf). Contoh lain, d’Masiv menelurkan ”Jangan Menyerah” yang melodinya sangat mudah dan bermain di tempo pelan, tempo yang kurang begitu disukai kalangan non-mainstream, namun lagu itu terbukti mampu menginspirasi banyak orang untuk berjuang lebih kuat dalam hidup. Apakah mereka jelek?

Menjadi band mainstream dengan kualitas yang baik secara notasi, lirik, mixing dan hal lainnya dari sisi produksi lagu mungkin adalah apa yang perlu dilakukan. Jika ada beberapa band dengan karakter musik yang tidak disukai, jangan dengar, supaya kita tidak terdistorsi untuk terjerat ke arah yg tidak kita sukai itu.

Dan penggarisbawahan yang kedua oleh saya berarti bahwa kadar mainstream sebuah band atau aliran musik itu akan sangat tergantung oleh peran dari pihak media massa. Jadi pada saat sebuah media (dan sayangnya adalah media massa yang bagus menurut saya) terlalu mengistimewakan band yang tidak mainstream, secara tidak langsung media itu juga sedang ‘memperjuangkan’ posisi band itu untuk menjadi mainstream.

Biarlah sebuah lagu itu menjadi suatu kar-ya seni yang sakral. Lagu berasal dari suara, sebuah gelombang yang bisa meresonansi hati dan pikiran menjadi sedih, senang bahkan marah. Bagaimana kita bisa menikmatinya, bila keindahan dan muatan emosi di dalamnya dipertanyakan kadar ‘kebagusannya’ dalam suatu wacana mainstream atau tidak.

Mari membuat musik yang menurut kita berkualitas dari segi lirik, notasi, pilihan sound, mixing, dan lain-lain. Soal nantinya akan diedarkan di area industri pop atau tidak, itu adalah pilihan. Memajukan musik Indonesia secara keseluruhan, itu yang terpenting.
Salam dari saya untuk semua musisi yang mendedikasikan karyanya untuk memajukan musik Indonesia!

*tulisan ini dimuat di majalah Rolling Stone edisi Maret

1 komentar:

maliki mengatakan...

mantab bang

di tunggu konsernya

smnagad buat anji...ku memenanti

setiap konser ,,drive.